Judul Buku : Pengadilan Puisi
Tahun Terbit : 1986
Nama Pengarang : Pamusuk Eneste
Nama Penerbit : PT. Gunung Agung, Jakarta
Sejak tahun 50-an hingga sekarang, agaknya
kesusastraan Indonesia modern selalu di warnai perdebatan/polemik yang
mengyangkut berbagai hal, dan salah satunya pernah terjadi Pengadilan Puisi
Indonesia Mutakhir. Diselenggarakan oleh Yayasan Arena di Aula Universitas
Parahyangan Bandung, 8 September 1974. (Pamusuk, 1
: 1986)
Jawaban
Pengadilan Puisi, Taufik Ismail. Melalui Sutardji Calzoum Bachri, menerima
surat undangan pada pertengahan bulan
agustus dari Ketua Yayasan Arena Djen Amar, S.H., untuk membaca sajak di Kota
Bandung. Ia meminta untuk pengunduran waktu, sebab dalam interlokal Sapardi
menyebut-nyebut tentang bentuk “pengadilan puisi” tapi tidak jelas bagaimana
itu. Djen Amar dan Sanenyo Yuliman menjelaskan kepada saya apa yang dimaksud
dengan pengadilan puisi Indonesia Mutakhir, bahwa rupanya kawan-kawan di Bandung
ingin mencari suatu bentuk pembicaraan kesusatraan dalam bentuk lain, dalam hal
puisi. Bentuk seminar, simposium, diskusi panel yang di anggap majemuk. Sehingga
di cari suatu bentuk yang tidak biasa, tapi juga bersungguh-sungguh. Konon gagasan
Darmanto, bentuk pengadilan puisi bisa memenuhi persyaratan. Demikianlah puisi
Indonesia mutakhir menjadi terdakwa yang di adili.
Slamet Kirnanto
rupanya di jadikan Jaksa, majelis hakim dari dua orang rupanya yang di jadikan
jaksa yaitu Darmanto Jt. Sejumlah saksi pun sudah di pilih. Saksi-saksi
memberatkan: Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Sides Sudyarto DS, dan
Pamusuk Eneste. Saksi meringankan Saini KM, Wing Kardjo, Adri Darmadji, dan
Yudhistira ANM Massardi.
Dalam
bahasa tuntutan Slamet Sukirnanto, kehidupan puisi Indonesia akhir-akhir ini
(1974), tidak sehat, tidak jelas dan brengsek! Hal itu terjadi karena menurutnya,
kritikus seperti H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung tidak lagi cemerlang dalam
mengapresiasi puisi yang ditulis oleh para penyair yang datang kemudian. Untuk
itu Goenawan Mohamad pun dituntut berhenti menulis puisi, karena dinilai tidak
berkembang. Demikian juga Rendra dan Sapardi Djoko Damono dituntut sama pula.
Tidak
hanya itu. Hakim Sanento Yuliman dan Darmanto Jatman pun menyatakan dalam
putusannya bahwa majalah sastra Horison harus menambah kata "baru"
pada logo majalah tersebut. Selain itu, para redakturnya dituntut untuk
pensiun. Mereka yang dituntut pensiun itu antara lain Goenawan Mohamad, Sapardi
Djoko Damono, H.B. Jassin, dan sejumlah tokoh lainnya.
Pengadilan
Puisi, pertama-tama, untuk mensahkan hak hidup puisi di Indonesia, sebab pada
tahun 1974 muncul era reformasi, yang dimana perlihan zaman penjajahan menjadi
zaman yang demokrasi yang menjujung tinggi nilai-nilai dan norma untuk
menyejahterahkan rakyat. Sehingga dalam jati diri bangsa perlu ada pemilahan,
khususnya dalam kesustraan yang dimana sebagai langkah awal mulainya penyebaran
media informasi melalui tulisan, khususnya dalam argumen Puisi itu senndiri. Jadi
inilah makna Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar